Jumat, 06 November 2015

TIDAK HADIR PEMBUKTIAN KUALIFIKASI = BLACKLIST

Telepon Kantor saya berdering....
Percakapan pun terjadi,,




A: halooo.....

B: Apakah Benar ini Kantor ULP Kabupaten Tanah Laut

A: iya benar....ada yang bisa kami bantu.

B: Selamat Siang Bapak (kira2 waktu menunjukkan pukul 12:00 Wita) Kami CV. A mengikuti paket pelelangan pekerjaan pembuatan xxxxxxxxx, berdasarkan hasil pembukaan penawaran, dan data pemasukan harga penawaran yang diinput oleh pokja ULP, perusahaan kami berada di Ranking 3 dan mendapatkan undangan pembuktian kualifikasi di email perusahaan kami,, kami mau menanyakan, kalau kami tidak hadir untuk memenuhi undangan pembuktian kualifikasi, perusahaan kami dibacklist tidak pak??

A: .......................................................hening seketika (sambil mikir isi dokumen pengadaan dan Perka LKPP ttg daftar hitam)

Percakapan diatas sekilas konteks Perihal mengenai Daftar Hitam a.k.a istilah kerennya Blacklist.

Apa itu blacklist (daftar hitam), bagaimana tahapan memberikan blacklist thd penyedia yang cidera janji..

mari kita kupas satu persatu.

Mari kita buka kamus besar mengenai Dasar Hukum tentang Blacklist(daftar hitam), setidaknya ada beberapa dasar hukum yang saya temukan antara lain sebagai berikut:
  1. Perpres 54/2010 dan perubahannya tentang pengadaan barang/jasa pemerintah.
  2. Perka LKPP No 7/2011 tentang Petunjuk Teknis Operasional Daftar Hitam
  3. Perka LKPP No 18/2014 tentang Daftar Hitam Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Pertanyaan pertama yang muncul Apa itu Daftar Hitam?


menurut Pasal 1 Perka LKPP No 18/2014 tentang Daftar Hitam Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Daftar Hitam  adalah daftar yang dibuat oleh K/L/D/I yang memuat identitas Penyedia Barang/Jasa yang dikenakan sanksi oleh PA/KPA berupa larangan mengikuti Pengadaan Barang/Jasa pada K/L/D/I dan/atau yang dikenakan sanksi oleh Negara/Lembaga Pemberi Pinjaman/Hibah pada kegiatan yang termasuk dalam ruang lingkup Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.


Pertanyaan selanjutnya muncul koq Perka LKPP yang mengatur masalah daftar hitam? Ternyata dasar hukumnya ada pada pasal 134 ayat 2 Perpres 54/2010 dan perubahaannya yang berbunyi:

Ketentuan lebih lanjut mengenai teknis operasional tentang Daftar Hitam, pengadaan secara elektronik, dan sertifikasi keahlian Pengadaan Barang/Jasa, diatur oleh Kepala LKPP paling lambat 3 (tiga) bulan sejak Peraturan Presiden ini ditetapkan.

Perlu diketahui sampai dengan terbitnya Perpres 4/2015 yang merupakan perubahan terakhir Perpres 54/2010 pasal 134 ini tidak mengalami perubahan / dihapus.





Berdasarkan pasal 1 Perka LKPP No 18/2014 mengenai definisi daftar hitam, dapat disarikan siapa yg jd Subjek, dan Siapa yang Menjadi Objek.

Subjek = PA/KPA.
Objek = identitas Penyedia Barang/Jasa yang dikenakan sanksi.




Pertanyaan yang muncul dibenak saya, apakah hanya PA/KPA saja yang mengenakan sanksi sedangkan pada pasal 118 perpres 54/2010 byk yang berkaitan dengan proses pemilihan penyedia barang/jasa dengan kata lain berada di wilayah wewenanngnya pokja ULP. Hal ini akan kita bahas pada bagian Tata Cara Pengenaan sanksi daftar hitam.


Sekarang kita kembali ke percakapan telepon diatas, boleh tidak penyedia tersebut tidak menghadiri pembuktian kualifikasi mengingat posisi berada pada Rangking 3 penawaran setelah dilakukan pembukaan penawaran dan evaluasi penawaran (dalam hal ini menggunakan pascakualifikasi) untuk selanjutnya diundang untuk menghadiri pembuktian kualifikasi.


Mari kita buka satu persatu aturan yang mengatur tentang pembuktian kualifikasi.
·   Pembuktian Kualifikasi adalah bagian dari tahapan pelelangan dengan menggunakan E-Tendering, sesuai dengan bahasan pada Perka LKPP No 1/2015 yang berbunyi pembuktian kualifikasi dilakukan diluar aplikasi SPSE (offline).


·           Pada Perka LKPP No 7/2011 tentang Petunjuk Teknis Operasional Daftar Hitam tepatnya pada pasal 3 ayat 1 huruf j yang berbunyi Penyedia Barang/Jasa pada proses pemilihan dikenakan sanksi Daftar Hitam apabila mengundurkan diri/tidak hadir bagi calon pemenang dan calon pemenang cadangan 1 (satu) dan 2 (dua) pada saat pembuktian kualifikasi dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh ULP/Pejabat Pengadaan dalam pelaksanaan pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya;


·          Kita Buka Dokumen Pengadaan, yang mana merupakan aturan main tertulis dalam tahapan pemilihan penyedia.
Kita coba Buka SBD LKPP Pengadaan pekerjaan konstruksi melalui e-lelang umum/pemilihan langsung dengan pascakualifikasi versi 1,1 yang diupload tanggal 17 Februari 2015.





·         Namun ada yang menarik pada Perka LKPP yang lebih baru yang terbit pada tahun 2014, yaitu pada Perka LKPP No 18/2014 tentang Daftar Hitam Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.




pada Perka LKPP No 18/2014 kalimat Penyedia Barang/Jasa pada proses pemilihan dikenakan sanksi Daftar Hitam apabila mengundurkan diri/tidak hadir bagi calon pemenang dan calon pemenang cadangan 1 (satu) dan 2 (dua) pada saat pembuktian kualifikasi dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh ULP/Pejabat Pengadaan dalam pelaksanaan pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya yang ditemukan pada Perka LKPP No 7/2011 tentang Petunjuk Teknis Operasional Daftar Hitam, tidak ditemukan pada Perka ini.


Apakah artinya dengan terbitnya Perka LKPP No 18/2014 penyedia jasa yang menawar pada paket pekerjaan boleh tidak menghadiri pembuktian kualifikasi, apabila merasa tidak ada peluang menang secara ranking penawaran hanya no 3 ditambah jarak tempuh menuju tempat pembuktian kualifikasi memerlukan biaya yang tidak sedikit (lho tapi menawar seharusnya ud itung2 an biaya akomodasi dll).


Saya coba menjawab dengan beberapa klausul:


lihat dokumen pengadaan barang/jasa yang ditetapkan oleh Pokja ULP karena sesuai pasal 79 ayat 1:



Jadi kalau Pokja ULP menggunakan kalimat persis tanpa mengubah narasi pada SBD LKPP Versi 1,1 maka jawabannya apabila Penyedia Barang/Jasa pada saat pembuktian kualifikasi tidak hadir bagi calon pemenang dan calon pemenang cadangan 1 (satu) dan 2 (dua) dengan alasan yang tidak dapat diterima maka dikenakan SANKSI DAFTAR HITAM.


Tapi pada Pasal 3 ayat 2 Perka LKPP No 18/2014 khususnya huruf d ditemukan kalimat yang mewakili tahapan pemilihan setelah batas akhir penawaran yang berbunyi Penyedia Barang/Jasa dikenakan sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam apabila mengundurkan diri setelah batas akhir pemasukan penawaran dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan/atau tidak dapat diterima oleh Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan;


Dengan Kata Lain artinya kewenangan ada dipokja untuk mengusulkan BL atau tidak BL dengan catatan alasan yang diajukan oleh calon pemenang dan calon pemenang cadangan 1 (satu) dan 2 (dua) dapat diterima atau tidak (dengan catatan redaksi dokumen pengadaan dilakukan penyesuaian)

Tapi bukannya yang memutuskan BlackList sesuai pasal 1 adalah PA/KPA koq jadi Pokja memberikan sanksi BL?


Jawaban untuk pertanyaan diatas diatur pada pasal 6 Perka LKPP No 18/2014.



Tentu tidak bisa secara sepihak memberikan Blacklist kepada Perusahaan, ada tahapan yang namanya pengusulan sesuai dengan pasal 7 perka LKPP No 18/2012, terbagi menjadi beberapa tahapan, antara lain:

1.    PPK/Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan melakukan pemeriksaan dengan cara:

a.   melakukan penelitian dokumen; dan
b.   melakukan klarifikasi dengan mengundang pihak terkait, yakni:
1.         Penyedia Barang/Jasa; dan/atau
2.         pihak lain yang dianggap perlu.

2.    Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan yang ditandatangani oleh PPK/Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan, dan Penyedia Barang/Jasa serta pihak lain yang dianggap perlu sebagai saksi.

3.    Dalam hal Penyedia Barang/Jasa pada pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak hadir atau hadir tetapi tidak bersedia menandatangani Berita Acara Pemeriksaan maka Berita Acara Pemeriksaan cukup ditandatangani oleh PPK/Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan dan pihak lain yang dianggap perlu sebagai saksi.


4.    Berita Acara Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurangkurangnya memuat:
a. hari/tanggal;
b. identitas para pihak;
c. keterangan para pihak;
d. kesimpulan pemeriksaan; dan
e. tanda tangan para pihak.


5.    PPK/Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan menyampaikan usulan penetapan sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam kepada PA/KPA paling lambat 3 (tiga) hari setelah Berita Acara Pemeriksaan ditandatangani.


6.    Usulan PPK/Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada PA/KPA melalui surat usulan penetapan sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam yang sekurangkurangnya memuat:

a.   identitas Penyedia Barang/Jasa, antara lain:
1.    nama Penyedia Barang/Jasa (nama perusahaan apabila berbentukbadan usaha atau nama yang menandatangani surat penawaran/surat perjanjian apabila berbentuk orang perseorangan);
2.    alamat Penyedia Barang/Jasa;
3.    nomor izin usaha (untuk Penyedia Barang/Jasa yang memiliki izin usaha); dan
4.    NPWP Penyedia Barang/Jasa;


b.   nama paket pekerjaan;

c.    nilai total HPS;

d.   perbuatan yang dilakukan oleh Penyedia Barang/Jasa;

e.   Berita Acara Pemeriksaan; dan
f.     bukti pendukung (surat pemutusan kontrak, foto, rekaman, dan lainlain).

7.    Format surat usulan penetapan sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.



Yang menarik adalah PA/KPA setelah menerima usulan dari PPK/Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan tidak serta merta langsung main putuskan saja, tapi meminta pertimbangan ke APIP, 

APIP juga menindaklanjuti usulan penetapan dan/atau keberatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 dengan cara melakukan pemeriksaan dan klarifikasi kepada PPK/Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan, Penyedia Barang/Jasa dan/atau pihak lain yang dianggap perlu paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak surat usulan penetapan sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam dan/atau keberatan diterima.

Hasil pemeriksaan dari APIP dijelaskan pada pasal 11 Perka LKPP No 18/2014:



 Barulah PA/KPA menerbitkan Surat Keputusan Penetapan sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam atau Penolakan atas usulan penetapan sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam berdasarkan rekomendasi APIP paling lambat 5 (lima) hari sejak rekomendasi diterima, dan pada hari yang sama Surat Keputusan Penetapan atau Penolakan sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam disampaikan kepada Penyedia Barang/Jasa dan PPK/Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan.


Tahapan selanjutnya adalah PA/KPA menyampaikan surat kepada LKPP untuk mencantumkan/ memasukkan Daftar Hitam ke dalam Daftar Hitam Nasional dan dimuat dalam Portal Pengadaan Nasional.





Wah saya lupa untuk menjawab telpon yang berdering tadi...so jawabansaya adalah silahkan lihat IKP pada dokumen pengadaan bapak....... perihal Pembuktian Kualifikasi. (Yo wes biar Penyedia juga Baca Dokumen Pengadaan J

Kamis, 05 November 2015

TAHAPAN - TAHAPAN PADA PEKERJAAN KONSTRUKSI (PERENCANAAN, PELAKSANAAN, DAN PENGAWASAN)


Salam PBJ,
Udah cukup lama tidak update artikel, dikarenakan ada beberapa rutinitas yang memerlukan perhatian khusus, kali ini saya pengen ngobrolin perihal Tahapan-Tahapan dalam Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

Dalam pekerjaan konstruksi sering sekali kita menemukan istilah-istilah terkait pekerjaan konstruksi yang perlu dipahami dan diterapkan oleh pengguna jasa dalam hal ini Pihak Pengguna Anggaran (PA) atau Pengguna Barang/Jasa dan PPK selaku pihak yang menjalankan dan mengendalikan kontrak, ambil contoh dalam mewujudkan suatu pekerjaan Bangunan Gedung negara tahapan-tahapan saja yang harus dilakukan oleh Pengguna Jasa.




Mari kita ulas secara satu persatu dengan panduan beberapa dasar hukum tertulis yang mengaturnya secara terpisah-terpisah, karena dalam hal ini peaturan yang mengatur jasa konstruksi cukup banyak, antara lain sbb:
1.       UU No. 18/1999 Tentang Jasa Konstruksi
2.       PP No. 28/2000 Tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi
3.       PP No. 29/2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi
4.       PP No. 30/2000 Tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi
5.       PP No. 4/2010 Tentang Perubahan Atas PP No. 28/2000 Tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi
6.       PP No. 59/2010 Tentang Perubahan Atas PP No. 29/2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi
7.       PP No. 92/2010 Tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 28/2000 Tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi
Pertama-tama yang perlu kita bahas adalah apa saja tahapan-tahapan yang diperlukan atau paling tidak minimal harus dipenuhi dalam menyelengarakan suatu pekerjaan konstruksi.

Pertanyaan diatas ada sy temukan jawabannya pada pasal 24 PP 29/2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, yang berbunyi Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi wajib dimulai dengan tahap perencanaan yang selanjutnya diikuti dengan tahap pelaksanaan beserta pengawasannya yang masing-masing tahap dilaksanakan melalui kegiatan penyiapan, pengerjaan, dan pengakhiran.

Berikut kita bahas tahapan-tahapan tersebut diatas:

A.   TAHAPAN PERENCANAAN
Lingkup tahap perencanaan pekerjaan konstruksi terbagi menjadi beberapa tahapan antara lain:
1.       prastudi kelayakan,
2.       studi kelayakan,
3.       perencanaan umum, dan
4.       perencanaan teknik.

Hal ini diuraikan pada Pasal 25 PP 29/2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang berbunyi:
Lingkup tahap perencanaan pekerjaan konstruksi meliputi prastudi kelayakan, studi kelayakan, perencanaan umum, dan perencanaan teknik.

Kemudian muncul pertanyaan, apakah semua tahapan yang terdiri dari prastudi kelayakan, studi kelayakan, perencanaan umum, dan perencanaan teknik. Harus selalu dilakukan disetiap perencanaan pekerjaan konstruksi?

Dalam hal ini PP 29/2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi pada pasal 26 membagi menjadi beberapa Kriteria:

(1) Dalam perencanaan pekerjaan konstruksi dengan pekerjaan risiko tinggi harus dilakukan prastudi kelayakan, studi kelayakan, perencanaan umum, dan perencanaan teknik.

(2) Dalam perencanaan pekerjaan konstruksi dengan pekerjaan risiko sedang harus dilakukan studi kelayakan, perencanaan umum, dan perencanaan teknik.

(3) Dalam perencanaan pekerjaan konstruksi dengan pekerjaan risiko kecil harus dilakukan perencanaan
teknik.


Kriteria yang digunakan pasal 26 adalah Kriteria Resiko Tinggi-Sedang-Kecil, oleh karena itu Pengguna Jasa selain melakukan Identifikasi Kebutuhan pada pekerjaan konstruksi haruslah dibreakdown lebih dalam lagi menjadi identifikasi resiko.

Identifikasi Resiko berupa melakukan penetapan kriteria resiko sebagaimana diatur pada pasal 10 PP No. 28/2000 Tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi.



Kriteria risiko pada pekerjaan konstruksi terdiri dari:

a. kriteria risiko kecil mencakup pekerjaan konstruksi yang pelaksanaannya tidak membahayakan keselamatan umum dan harta benda;
b. kriteria risiko sedang mencakup pekerjaan konstruksi yang pelaksanaannya dapat berisiko membahayakan keselamatan umum, harta benda, dan jiwa manusia;
c. kriteria risiko tinggi mencakup pekerjaan konstruksi yang pelaksanaannya berisiko sangat membahayakan keselamatan umum, harta benda, jiwa manusia, dan lingkungan.

Setidaknya sampai pembahasan ini sudah menemukan dasar, kenapa pekerjaan tersebut diperlukan Feasibility study atau Pra feasibility Study? setidaknya ada dasar justifikasi teknisnya sebelum mengidentifikasi hal tersebut, tidak asal memunculkan dalam dokumen anggaran, yang penting ada paket pekerjaan perencanaan studi kelayakan yang tak berdasar kebutuhannya,, karena apabila kalimat tersebut dibalik, mengapa jadi ada paket perencanaan berupa study kelayakan, yang mana seharusnya menurut lingkup pekerjaan dan berdasarkan identifikasi pengelola kegiatan ada menemukan kriteria resiko, minimum kategori resiko sedang-besar, dan hal itu sebenarnya sudah teridentifikasi dalam dokumen RUP-nya PA berkaitan dengan identifikasi kebutuhan paket pekerjaan tersebut.

Khusus terkait dengan perencanaan Teknis (selalu ada di setiap tahapan uraian pasal 26 PP 29/2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi) terkait bangunan gedung negara dapat berpedoman pada Permen PU 45/2007,



hal ini diatur pada Bab III Tahapan Pembangunan Gedung Negara poin B yang berbunyi sebagai berikut:

PERENCANAAN TEKNIS KONSTRUKSI:
1.   Perencanaan teknis konstruksi merupakan tahap penyusunan rencana teknis ( disain ) bangunan gedung negara, termasuk yang penyusunannya dilakukan dengan menggunakan disain berulang atau dengan disain prototip.

2.    Penyusunan rencana teknis bangunan gedung negara dilakukan dengan cara menggunakan penyedia jasa perencanaan konstruksi, baik perorangan ahli maupun badan hukum yang kompeten, sesuai dengan ketentuan, dan apabila tidak terdapat penyedia jasa perencanaan konstruksi yang bersedia, dapat dilakukan oleh instansi Pekerjaan Umum/instansi teknis setempat.

3.    Rencana teknis disusun berdasarkan Kerangka Acuan Kerja (KAK) yang disusun oleh pengelola kegiatan.

4.       Dokumen rencana teknis bangunan gedung negara secara umum meliputi:

a.       Gambar rencana teknis (arsitektur, struktur, mekanikal dan elektrikal, serta tata lingkungan);
b.   Rencana kerja dan syarat-syarat (RKS), yang meliputi persyaratan umum, administratif, dan teknis bangunan gedung negara yang direncanakan;
c.       Rencana anggaran biaya pembangunan;
d.       Laporan akhir tahap perencanaan, meliputi:
1.          laporan arsitektur;
2.          laporan perhitungan struktur termasuk laporan penyelidikan tanah (soil test);
3.          laporan perhitungan mekanikal dan elektrikal;
4.          laporan perhitungan IT (Informasi & Teknologi);
5.          laporan tata lingkungan.

e.       Keluaran akhir tahap perencanaan, yang meliputi dokumen perencanaan, berupa: Gambar Rencana Teknis, Rencana Kerja dan Syarat-syarat (RKS), Rencana Anggaran Biaya (Engineering Estimate), dan Daftar Volume Pekerjaan (Bill of Quantity) yang disusun sesuai ketentuan;

f.       Kontrak kerja perencanaan konstruksi dan berita acara kemajuan pekerjaan/serah terima pekerjaan perencanaan, yang disusun dengan mengikuti ketentuan yang tercantum dalam peraturan presiden tentang pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, dan pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah beserta petunjuk teknis pelaksanaannya.

5.       Tahap perencanaan teknis konstruksi untuk bangunan gedung negara:
a.    yang berlantai diatas 4 lantai; dan/atau
b.    dengan luas total diatas 5.000 m2; dan/atau
c.    dengan klasifikasi khusus; dan/atau
d.    yang melibatkan lebih dari satu konsultan perencana maupun pemborong; dan/atau;
e.    yang dilaksanakan lebih dari satu tahun anggaran (multiyears project);

DIHARUSKAN MELIBATKAN PENYEDIA JASA MANAJEMEN KONSTRUKSI, SEJAK AWAL TAHAP PERENCANAAN.

Dari penjelasan diatas dapat dijadikan pedoman kapan Konsultan MK diiperlukan?setidaknya harus memenuhi klausul-klausul persyaratan diatas, tidak asal memunculkan dalam dokumen anggaran, sehingga menjadi kebutuhan yang tak berdasar.



B. TAHAP PELAKSANAAN BESERTA PENGAWASANNYA

Tahapan selanjutnya setelah perencanaan adalah tahap melaksanakan apa yang direncanakan sekaligus mengawasinya, apa saja yang perlu dilakukan pada tahap ini ada diatur pada pasal 28 PP PP 29/2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
Lingkup tahap pelaksanaan beserta pengawasan pekerjaan konstruksi meliputi  pelaksanaan fisik, pengawasan, uji coba, dan penyerahan hasil akhir pekerjaan. Pelaksanaan beserta pengawasan pekerjaan konstruksi dilakukan berdasarkan hasil perencanaan teknik

Dalam hal ini Setiap bangunan gedung negara harus memenuhi persyaratan administratif baik pada tahap pembangunan maupun pada tahap pemanfaatan bangunan gedung negara, hal ini dijelaskan Permen PU 45/2007 pada BAB II Persyaratan Bangunan Gedung Negara, yang mana persyaratan administratif terdiri dari:

1.         DOKUMEN PEMBIAYAAN /DOKUMEN ANGGARAN
2.         STATUS HAK ATAS TANAH
3.         STATUS KEPEMILIKAN
4.         PERIZINAN
5.         DOKUMEN PERENCANAAN
6.         DOKUMEN PEMBANGUNAN.
7.         DOKUMEN PENDAFTARAN

Pada tahapan-tahapan diatas yang perlu digaris bawahi adalah dokumen pembangunan pada tahap sebelum pembangunan bangunan gedung negara, dan dokumen pendaftaran pada tahap pemanfaatan bangunan gedug negara yang mana berdasarkan Permen PU 45/2007 dijelaskan
1.   DOKUMEN PEMBANGUNAN:
Setiap bangunan gedung negara harus dilengkapi dengan dokumen pembangunan yang terdiri atas:
a.         Dokumen Perencanaan,
b.         Izin Mendirikan Bangunan (IMB),
c.         Dokumen Pelelangan,
d.         Dokumen Kontrak Kerja Konstruksi, dan As Built Drawings,
e.         hasil uji coba/test run operational,
f.           Surat Penjaminan atas Kegagalan Bangunan (dari penyedia jasa konstruksi), dan
g.         Sertifikat Laik Fungsi (SLF) sesuai ketentuan.

2.      DOKUMEN PENDAFTARAN

Setiap bangunan gedung negara harus memiliki dokumen pendaftaran untuk pencatatan dan penetapan Huruf Daftar Nomor ( HDNo ) meliputi Fotokopi:
a. Dokumen Pembiayaan/DIPA (otorisasi pembiayaan);
b. Sertifikat atau bukti kepemilikan/hak atas tanah;
c. Status kepemilikan bangunan gedung;
d. Kontrak Kerja Konstruksi Pelaksanaan;
e. Berita Acara Serah Terima I dan II;
f. As built drawings (gambar sesuai pelaksanaan konstruksi) disertai arsip gambar/legger;
g. Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF); dan
h. Surat Penjaminan atas Kegagalan Bangunan (dari penyedia jasa konstruksi).

Tahapan-Tahapan PELAKSANAAN KONSTRUKSI menurut Permen PU 45/2007 pada BAB III Tahapan Pembangunan Bangunan Gedung Negara antara lain sebagai berikut:

1.         Dalam pelaksanaan konstruksi bangunan gedung negara sudah termasuk tahap pemeliharaan konstruksi.

2.       Pelaksanaan konstruksi merupakan tahap pelaksanaan mendirikan bangunan gedung, baik merupakan pembangunan baru, perbaikan sebagian atau seluruhnya,maupun perluasan yang sudah ada, dan/atau lanjutan pembangunan yang belum selesai, dan/atau perawatan rehabilitasi, renovasi, restorasi) dilakukan dengan menggunakan penyedia jasa pelaksana konstruksi sesuai ketentuan.

3.       Pelaksanaan konstruksi dilakukan berdasarkan dokumen pelelangan yang telah disusun oleh perencana konstruksi, dengan segala tambahan dan perubahannya pada saat penjelasan pekerjaan/aanwijzing pelelangan, serta ketentuan teknis (pedoman dan standar teknis) yang dipersyaratkan.

4.      Pelaksanaan konstruksi dilakukan sesuai dengan: kualitas masukan (bahan, tenaga, dan alat), kualitas proses (tata cara pelaksanaan pekerjaan), dan kualitas hasil pekerjaan, seperti yang tercantum dalam RKS.

5.         Pelaksanaan konstruksi harus mendapatkan pengawasan dari penyedia jasa pengawasan konstruksi atau penyedia jasa manajemen konstruksi.

6.         Pelaksanaan konstruksi harus sesuai dengan ketentuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

7.     Penyusunan Kontrak Kerja Pelaksanaan Konstruksi dan Berita Acara Kemajuan Pekerjaan/Serah Terima Pekerjaan Pelaksanaan Konstruksi maupun Pengawasan Konstruksi mengikuti ketentuan yang tercantum dalam peraturan presiden tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah dan petunjuk teknis pelaksanaannya.

8.         Pemeliharaan konstruksi adalah tahap uji coba dan pemeriksaan atas hasil pelaksanaan konstruksi fisik. Di dalam masa pemeliharaan ini penyedia jasa pelaksanaan konstruksi berkewajiban memperbaiki segala cacat atau kerusakan dan kekurangan yang terjadi selama masa konstruksi.

9.      Dalam masa pemeliharaan semua peralatan yang dipasang di dalam dan di luar gedung, harus diuji coba sesuai fungsinya. Apabila terjadi kekurangan atau kerusakan yang menyebabkan peralatan tidak berfungsi, maka harus diperbaiki sampai berfungsi dengan sempurna.

10.   Apabila tidak ditentukan lain dalam kontrak kerja pelaksanaan konstruksi bangunan gedung negara, masa pemeliharaan konstruksi untuk bangunan gedung semi permanen minimal selama 3 (tiga) bulan dan untuk bangunan gedung permanen minimal 6 (enam) bulan terhitung sejak serah terima pertama pekerjaan konstruksi.

11.      Keluaran akhir yang harus dihasilkan pada tahap ini adalah (TAHAP PELAKSAAN KONSRUKSI):
a.       Bangunan gedung negara yang sesuai dengan dokumen untuk pelaksanaan konstruksi;
b.       Dokumen hasil Pelaksanaan Konstruksi, meliputi:
1.          gambar-gambar yang sesuai dengan pelaksanaan (as built drawings).
2.        semua berkas perizinan yang diperoleh pada saat pelaksanaan konstruksi fisik, termasuk Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
3.    kontrak kerja pelaksanaan konstruksi fisik, pekerjaan pengawasan beserta segala perubahan/ addendumnya.
4.          laporan harian, mingguan, bulanan yang dibuat selama pelaksanaan konstruksi fisik, laporan akhir manajemen konstruksi/pengawasan, dan laporan akhir pengawasan berkala.
5.          berita acara perubahan pekerjaan, pekerjaan tambah/kurang, serah terima I dan II, pemeriksaan pekerjaan, dan berita acara lain yang berkaitan dengan pelaksanaan konstruksi fisik.
6.          Foto-foto dokumentasi yang diambil pada setiap tahapan kemajuan pelaksanaan konstruksi fisik.
7.          manual pemeliharaan dan perawatan bangunan gedung, termasuk petunjuk yang menyangkut pengoperasian dan perawatan peralatan dan perlengkapan mekanikal-elektrikal bangunan.


Demikian sekilas pembahasan tahapan-tahapan yang berkaitan dengan penyelenggaraan konstruks, khususnya bangunan gedung negara, semoga bermanfaat, dan mohon koreksinya.