Kamis, 18 Februari 2016

MENGAPA HARUS DIKATEGORIKAN PIDANA?KALAU HANYA ADMINISTRASI ATAU PERDATA!!!

Pengadaan Barang/jasa secara garis besar terbagi menjadi 2, yaitu tahapan sebelum Kontrak, dan tahapan setelah kontrak.

Tahapan sebelum kontrak khususnya proses pemilihan penyedia merupakan Tugas Pokok dan Kewenangan dari Pokja ULP sesuai amanat pasal 17 ayat 2 Perpres 54/2010 dan perubahannya.

Output dari proses pemilihan penyedia adalah terpilihnya penyedia Barang/Jasa yang HALAL untuk melaksanakan Kontrak dengan PPK.

secara administratif proses Pemilihan Penyedia barang/Jasa menghasilkan sebuah putusan berupa Surat Keputusan Penetapan Pemenang Penyedia Barang/Jasa.

Surat Keputusan tersebut diatas berupa Keputusan Tata Usaha Negara yang mana dijelaskan pada pasal 1 angka 7 UU no 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara bahwa selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.




7. Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Oleh karena Surat Keputusan Penetapan Pemenang Penyedia Barang/Jasa adalah berupa Keputusan Tata Usaha Negara, maka seharusnya upaya penyelesaian apabila ada sengketa pada ranah pemilihan penyedia adalah Upaya Administratif dan merupakan wilayahnya Tata Usaha Negara.

Penjelasan diatas diatur pada pasal 1 angka 16 dan angka 18  UU no 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.


16. Upaya Administratif adalah proses penyelesaian sengketa yang dilakukan dalam lingkungan Administrasi Pemerintahan sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan dan/atau Tindakan yang merugikan.


18. Pengadilan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara.


Pertanyaan yang muncul pengaturan administratif pemerintahan berlaku untuk lingkup apa saja, jelas tertulis didalam pasal 4  UU no 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, bahwa Ruang Lingkup pengaturan Administratif Pemerintahan dalam Undang-Undang ini meliputi semua aktivitas:

  1. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan Fungsi Pemerintahan dalam lingkup lembaga eksekutif;
  2. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan Fungsi Pemerintahan dalam lingkup lembaga yudikatif;
  3. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan Fungsi Pemerintahan dalam lingkup lembaga legislatif; dan
  4. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya yang menyelenggarakan Fungsi Pemerintahan yang disebutkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undangundang.
Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2014 tentang Administratif Pemerintahan, diterangkan pada klausul menimbang huruf b bahwa untuk menyelesaikan permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pengaturan mengenai administrasi pemerintahan diharapkan dapat menjadi solusi dalam memberikan pelindungan hukum, baik bagi warga masyarakat maupun pejabat pemerintahan. 

so, bijaklah dengan hal tsb.

Pembahasan selanjutnya perihal kontrak, mulai dari melakukan ikatan perjanjian (kontrak), dan terutama mengendalikan kontrak merupakan Tugas Pokok dan wewenang PPK yang diatur pada pasal 11 Perpres 54/2010 dan perubahannya.

dalam hal ini
Objek utamanya adalah Kontrak
Subjek utamanya adalah Para pihak berwenang yang mengadakan perikatan.

Kontrak merupakan materi hukum yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), asal mula kontrak diatur pada pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi Kontrak berawal dari sebuah persetujuan/kesepakatan dari satu orang atau lebih yang mengikatkan diri terhadap satu orang/lebih.

Kontrak juga adalah hal yang sangat sakral untuk suatu perikatan, khususnya terkait tentang Pengadaan Barang/Jasa, Saking SAKRALnya, pada Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai UNDANG-UNDANG bagi mereka yang membuatnya.

Kontrak diperoleh dari hasil proses pemilihan yang HALAL, mendapatkan penyedia Barang/Jasa yang HALAL, sehingga KONTRAK juga harus dibuat sedemikian rupa sesuai aturan Perundang-Undangan, salah satu Perundang-Undangan yang mengatur adalah pasal 1320 KUHPerdata perihal syarat sah suatu kontrak, yang berbunyi:



Oleh karena itu sangat jelas bahwa Kontrak Pengadaan merupakan materi hukum pada KUHPerdata, sehingga semua sengketa yang timbul dari Kontrak Pengadaan harus diselesaikan berdasarkan Kontrak (Hukum Perdata).

berikut Ilustrasi Aspek Hukum Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah




Akan tetapi wilayah hukum Pidana tidak mengenal Area sebelum Kontrak, atau setelah Kontrak, wilayah hukum pidana khususnya Tindak Pidana Khusus berlaku apabila adanya niat jahat yang dilakukan melalui perbuatan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dan adanya niat jahat untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, secara lengkap salah satunya diatur pada Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

demikian yang bisa di share pada tulisan kali ini, semoga bermanfaat bagi semua penggiat Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dan mohon masukan dan koreksinya.




Selasa, 16 Februari 2016

ANATOMI RANCANGAN SURAT PERJANJIAN (KONTRAK) MENURUT PERDATA

SALAM PBJ..

Pada kesempatan kali ini, saya ingin membicarakan salah satu materi perihal Kontrak, sumber materi didapat sebagian besar dari MATERI AJAR Pak KHALID MUSTAFA,terkait Rancangan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah khususnya mengenai surat perjanjian, yang mana kontrak berawal dari sebuah persetujuan/kesepakatan dari satu orang atau lebih yang mengikatkan diri terhadap satu orang/lebih (pasal 1313 KUHPerdata).
dikarenakan prinsip utamanya adalah persetujuan/kesepakatan, kontrak dijadikan dasar untuk menimbulkan sebuah kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Implementasinya kontrak dapat digunakan untuk berbisnis, dan tentu saja berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa.

Berikut Perbedaan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa dengan Kontrak Bisnis.


Kontrak adalah hal yang sangat SAKRAL untuk suatu perikatan, khususnya terkait tentang Pengadaan Barang/Jasa Saking SAKRALnya, pada Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai UNDANG-UNDANG bagi mereka yang membuatnya.



Kontrak  dibuat secara sah, tentunya ada syarat sah suatu Kontrak/perjanjian, 

SYARAT SAH SUATU KONTRAK MENURUT PASAL 1320 KUHPerdata:



Kontrak Pengadaan merupakan materi hukum pada KUHPerdata, Oleh Karena itu, semua sengketa yang timbul dari Kontrak Pengadaan harus diselesaikan berdasarkan Kontrak (Hukum Perdata) dan bukan berdasarkan Hukum Pidana.

Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Kontrak berupa perjanjian tertulis, yang mana perjanjian tertulis tsb berupa tanda bukti perjanjian dan diatur pada pasal 55 Perpres 54/2010 dan perubahannya, yang terdiri atas:
a.       bukti pembelian;
b.       kuitansi;
c.        Surat Perintah Kerja (SPK)
d.       surat perjanjian); dan
e.        surat pesanan

Jenis Kontrak Pengadaan Barang/Jasa sendiri bermacam2, meliputi :


Pada tahapan sebelum Kontrak (Pra Kontrak), dikenal istilah yang namanya rancangan kontrak, rancangan kontrak ini merupakan wewenang PPK dalam penetapannya sesuai amanat pada pasal 11 Perpres No 54/2010 dan perubahannya.

Banyak referensi rancangan kontrak yang bisa diperoleh antara lain pada BAB IX, X, XI SBD versi 1,1 yang diterbitkan oleh LKPP, namun sayangnya pada tahap implementasinya, para PPK (tidak semua) hanya sekedar insert file rancangan kontrak dari LKPP tersebut, tanpa menelaah lebih dalam, memilah lebih dalam, padahal aturan mainnya PPK pada saat proses pelaksanaan Kontrak adalah rancangan kontrak yg ditetapkan dan pada proses pemilihan jadi bagian dari BAB IX, X, XI dari dokumen pengadaan.

Untuk Lingkup Pekerjaan Konstruksi terkait Rancangan Kontrak PPK sebelum menetapkan Rancangan Kontrak bisa menjadikan BUKU Permen PU 31/2015 sebagai referensi, karena terdapat kekhasan tersendiri untuk penanganan rancangan kontrak tersebut.
Mari sama2 kita membahas lebih dalam terkait Rancangan Kontrak untuk Pekerjaan Konstruksi.

Kontrak Pengadaan Barang/jasa terbagi dari beberapa bagian, dan memiliki hierarki yang terdiri antara lain:

DOKUMEN KONTRAK

    Dokumen-dokumen berikut merupakan satukesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari Kontrak ini:
a.     adendum Surat Perjanjian (apabila ada);
b.     pokok perjanjian;
c.     surat penawaran berikut daftar kuantitas dan harga;
d.     syarat-syarat khusus Kontrak;
e.     syarat-syarat umum Kontrak;
f.        spesifikasi khusus;
g.     spesifikasi umum;
h.     gambar-gambar; dan
i.         dokumen lainnya seperti: jaminan-jaminan, SPPBJ, BAHP, BAPP.

Secara STRUKTUR SURAT PERJANJIAN terdiri dari beberapa bagian, antara lain:
  1. BAGIAN PENDAHULUAN
  2. BAGIAN ISI
  3. BAGIAN PENUTUP
Mari kita ulas lebih dalam mengenai Surat Perjanjian khususnya terkait dengan syarat sah suatu perjanjian menurut pasal 1320 KUHPerdata.

  1. BAGIAN PENDAHULUAN:

BERIKUT GAMBAR BAGIAN PENDAHULUAN DARI RANCANGAN KONTRAK SBD LKPP VERSI 1,1

 


KALAU DIPENGGAL PADA BAGIAN PEMBUKA INI, MENJADI BEBERAPA SUB BAGIAN



klausul subbagian pembuka ini menunjukkan isu hukum yang penting seperti penggunaan singkatan pengenal dokumen pada kalimat (selanjutnya disebut “Kontrak”), tempat penandatanganan dan waktu penandatanganan.

Terkait dengan syarat sah sah suatu perjanjian sesuai pasal 1320 KUHPerdata, ketiadaan penggunaan singkatan pengenal dokumen kalimat (selanjutnya disebut “Kontrak”) memang tidak berdampak pada sah/tidaknya atas kontrak tersebut, namun pencantuman tempat penandatanganan dan waktu penandatanganan memiliki implikasi hukum bahwa keberlakuan kontrak tersebut sejak kontrak disepakati/ditandatangani pada tempat tersebut, pada ruang lingkup waktu yang disepakati sesuai jangka waktu klausul pelaksanaan waktu kontrak, termasuk penambahan klausul Nomor penyedia selain nomor K/L/D/I untuk penomoran kontrak, hal ini berkaitan dengan salah satu poin pada pasal 1320 KUHPerdata yang menunjukkan kecakapan dalam berkontrak.

Sehingga subbagian ini perlu dituangkan secara jelas, bahkan penulisan [tanggal, bulan dan tahun diisi dengan huruf]  dibuatnya penandatangan dituangkan dalam huruf untuk menghindari kesalahan.

Pada rancangan surat perjanjian yang dituangkan dalam SBD Permen PU malah lebih detail lagi, dapat dilihat pada pict dibawah ini

 

Yang mana pada sub bagian ini, menerangkan unsur adanya sebab yang halal (Geoorloofde Oorzaak), dalam hal ini sebab yang halal dituangkan dalam bentuk:

a.         Surat Penetapan Pemenang No.…… tanggal ……. Sebagai output dari hasil proses pemilihan.

b.    Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ) No ……. tanggal …….,sebagai output dari perstujuan PPK akan hasil pemilihan dengan mengeluarkan SPPBJ.

c.      Surat Menteri Keuangan (bersumber dari APBN ) Nomor: ....., tanggal:....., perihal: .....”terkait penggunaan Kontrak Tahun Jamak (Sumber Dana APBN.

d.        Surat Persetujuan pelaksanaan kontrak tahun jamak dari Kepala Daerah (yang bersumber dari APBD) Nomor: ....., tanggal:....., perihal: .....”]  terkait penggunaan Kontrak Tahun Jamak (Sumber Dana APBD)

BERIKUT GAMBAR BAGIAN PENDAHULUAN DARI RANCANGAN KONTRAK SBD LKPP VERSI 1,1 PERIHAL IDENTITAS PARA PIHAK


Sub bagian Identitas ini memiliki implikasi hukum yang penting sesuai pasal 1320 KUHPerdata terkait kecakapan (kapasitas) para pihak untuk melaksanakan kontrak, selain itu klausul ini menjelaskan para pihak yang berhak untuk menandatangani kontrak, Ketiadaan klausul sub bagian pencantuman identitas dapat menyebabkan tidak sahnya suatu perjanjian.

Perumusan klausul sub bagian pencantuman identitas yang tidak jelas dan tidak tegas seperti tidak adanya kapasitas dan jabatan orang yang mewakili Para pihak atau pun tidak menyebutkan landasan hukum pendirian badan hukum Penyedia atau pun tidak adanya SK Penetapan PPK dapat menyebabkan tidak sahnya suatu perjanjian karena tidak terpenuhinya syarat kapasitas (kecakapan) para pihak untuk mengikatkan diri pada Perjanjian.

Pada Prakteknya tentu saja PPK harus memilah Sub unsur Identitas mana yang akan dituangkan menjadi rancangan kontrak, contoh pada rancangan Kontrak SBD Permen PUPR sudah memilah menjadi 2 jenis Rancangan Surat Perjanjian



Cukup berbeda antara rancangan surat perjanjian dengan yang dilampirkan pada SBD LKPP dengan SBD Permen PU 31/2015, yaitu Penambahan Kalimat:

Kumpulan regulasi diatas Menerangkan unsur adanya sebab yang halal (Geoorloofde Oorzaak), Selain itu unsur sebab yang halal sesuai KUHPerdata juga diterangkan secara ringkas pada kalimat dibawah ini



Yang mana pada bagian ini menjelaskan bahwa telah dilakukan proses pemilihan penyedia sesuai dengan Dokumen Pemilihan, dengan output diperolehnya penyedia yang HALAL sesuai dengan tahapan proses pemilihan yang diatur oleh Perpres 54/2010 dan perubahannya, dan setelah proses pemilihan penyedia sebagai output dari persetujuan PPK akan hasil pemilihan dengan mengeluarkan SPPBJ.
Klausul pada bagian ini juga memiliki isu hukum penting seperti kesepakatan para pihak dan kapasitas (kecakapan) para pihak untuk mengikatkan diri pada Perjanjian.

B.   BAGIAN ISI


Peristilahan dan ungkapan memiliki isu hukum penting terkait pengertian yang akan digunakan dalam pengaturan dan pelaksanaanKontrak.
Perumusan klausul definisi, peristilahan dan ungkapan dapat berimplikasi hukum atas ruang lingkup kontrak khususnya hak, kewajiban, waktu dan kegiatan pengadaan barang/jasa, oleh karena itu harus dirumuskan dengan merujuk Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 dan peraturan perundang undangan yang berlaku. Perumusan Klausul definisi harus cermat dan jelas.


Terkait dengan syarat sah sah suatu perjanjian sesuai pasal 1320 KUHPerdata, klausul nilai kontrak berdampak pada sah/tidaknya atas kontrak tersebut,  karena dapat menyebabkan ketidak jelasan syarat sah mengenai “suatu hal/objek tertentu”.
Klausul nilai kontrak harus dirumuskan dengan angka dan huruf secara jelas, lengkap dan akurat.


Klausul satu-kesatuan dokumen memiliki isu hukum penting terkait keberlakuan semua dokumen Kontrak.
Ketiadaan Klausul satu-kesatuan dokumen menyebabkan salah satu atau beberapa dokumen selain surat perjanjian tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Keberlakukan dan kekuatan hukum yang mengikat keseluruhan dokumen Kontrak sangat penting karena Pengadaan Barang/Jasa setelah penandatanganan diatur penuh oleh Dokumen Kontrak. Oleh karena itu Perumusan Klausul satu-kesatuan dokumen harus dirumuskan secara lengkap dengan menyebutkan seluruh nama/judul dokumen terkait dengan jelas.


Para pihak wajib melaksanakan seluruh kewajiban yang diatur dalam dokumen Kontrak.
Para pihak berhak mendapatkan hak yang diatur dalam dokumen Kontrak.
Tertundanya atau tidak dilaksanakannya klausul hak dan kewajiban memiliki implikasi hukum pembayaran gant irugi,kompensasi dan/atau pemutusanKontrak.
Pelaksanaan Klausul Hak dan Kewajiban sebaiknya disertai bukti pendukung antara lain bukti pembayaran,berita acara dan tanda terima.



Klausul Mulai Berlakunya Perjanjian memiliki implikasi hukum dimulainya hubungan hukum secara kontraktual antara para pihak dan mulai berlakunya semua ketentuan dalam dokumen Kontrak.
Agak berbeda dengan klausul masa kontrak pada rancangan kontrak  SBD LKPP, pada rancangan kontrak SBD Permen PU, yaitu selain menguraikan masa kontrak juga menguraikan masa pelaksanaan kontrak dan masa pemeliharaan.


C. BAGIAN PENUTUP




Klausul Penutup seperti Ruang Penempatan Tanda Tangan memiliki isu hukum kesepakatan para pihak,keberlakuan dan mulai berlakunya Kontrak,dan kapasitas(kecakapan)para pihak untuk mengikatkan diri pada Perjanjian.
Terkait para pihak yang berhak untuk menandatangani kontrak atas nama penyedia diatur pada pasal 86 ayat 5 dan 6 Perpres 54/2010 dan perubahannya.



Ketiadaan Tanda Tangan memiliki implikasi hukum tidak sahnya Kontrak, Karena sesuai pasal 1320 KUHPerdata merupakan poin kesepakatan untuk mengikatkan dirinya dalam suaru perikatan.

Penempatan tanda tangan orang atau pihak yang tidak memiliki kapasitas (kecakapan) untuk mengikatkan diri pada Perjanjian dapat menyebabkan tidak sahnya Kontrak.

Penggunaan dan ketentuan tata cara Materai agar mengacu peraturan perundang-undangan, dalam hal ini diatur melalui Undang-Undang No 13/1985 tentang Bea Materai, 




Ketentuan tata  cara meterai, yang terdiri atas ketentuan lokasi perekatan, tandatangan yang melintasi meterai dan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun pada meterai diatur pada Pasal 6 ayat (1) hingga (8) Undang-Undang No 13/1985 tentang Bea Materai.


Oleh karena itu bagian Ruang Penempatan Tanda Tangan harus mencakup Nama Para Pihak, nama pihak yang mewakili sesuai dengan kartu identitas, jabatan serta dibubuhi materai.
dokumen  yang tidak dibubuhi materai memang bukan merupakan syarat sah sebuah dokumen namun pembubuhan materai merupakan bukti pembayaran pajak sesuai amanat pasal 1 Undang-Undang No 13/1985 tentang Bea Materai.


Demikian pembahasan mengenai Anatomi Rancangan Surat Perjanjian untuk Pekerjaan Konstruksi yang merupakan bagian dari salah satu Rancangan Khontrak yang akan ditetapkan oleh PPK. dikesempatan selanjutnya akan dibahas lebih Lanjut mengenai bagian Rancangan Kontrak yang lain yaitu SSUK dan SSKK.

Minggu, 24 Januari 2016

SPESIFIKASI TEKNIS BANGUNAN GEDUNG NEGARA MENURUT PERMEN PU 45/2007

SALAM PBJ, rekan2 sahabat.

Penetapan Spesifikasi teknis Barang/Jasa merupakan tugas pokok dan wewenang PPK dalam kaitannya dengan dokumen Rencana Pelaksanaan Pengadaan (RPP), sesuai uraian pada pasal 11 ayat 1 Perpres 54/2010 dan perubahannya, yaitu  salah satu tugas pokok dan wewenang PPK adalah menetapkan rencana pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa yang meliputi:
1) spesifikasi teknis Barang/Jasa;
2) Harga Perkiraan Sendiri (HPS); dan
3) rancangan Kontrak.

seringkali dikelas Pelatihan Pengadaan Barang/Jasa, saat materi disampaikan oleh Trainer PBJ ambil contoh saat dikelasnya pak Khalid Mustafa ataupun Pak Samsul Ramli, beliau2 hampir selalu membetulkan apabila ada salah satu peserta diklat salah dalam pengucapan urutan dari dokumen RPP tersebut (misal yang diucapkan terlebih dahulu adalah HPS, Spesifikasi teknis Barang/Jasa, Rancangan Kontrak), yang mana uraian dari pasal 11 ayat 1 Perpres 54/2010 dan perubahannya ternyata merupakan suatu hierarki dan Spesifikasi Teknis Barang/Jasa merupakan hierarki tertinggi dari dokumen RPP tersebut.

Spesifikasi teknis Barang/Jasa yang tidak tepat akan mengakibatkan turunan selanjutnya yaitu penyusunan HPS tidak maksimal, bisa disebabkan karena kurang jelasnya spesifikasi teknis barang/jasa  yang diinginkan bahkan cenderung hanya Copy Paste / Save As dari File Lama yang sudah tidak ada kaitannya lg dengan pekerjaan saat ini, sehingga timbulah penafsiran yang beragam dalam melakukan penyusunan HPS, misal dalam tahap survey harga pasar, tidak jelas barang yang ingin diuraikan pada spesifikasi teknis Barang/Jasa, sehingga bisa mengakibatkan range harga yang mungkin terlampau tinggi atau malah terlampau rendah, yang tentunya akan berpengaruh pada tahap pemilihan penyedia.

Penyusunan spesifikasi teknis yang tidak tepat, bahkan juga akan berpengaruh dalam penyusunan rancangan kontrak yang diinginkan nantinya, ambil contoh umur bangunan pada SSKK tentu erat kaitannya dengan spesifikasi teknis yang direncanakan, begitu juga dengan masa pemeliharaannya.

Pada Kesempatan kali ini mari kita sama-sama membahas perihal Spesifikasi Teknis Barang Jasa Khususnya untuk Bangunan Gedung Negara.
Khusus untuk pekerjaan konstruksi, salah satu acuan normatif yang dipakai antara lain Undang-undang RI Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, dan Undang-undang RI Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

Yang dimaksud dengan bangunan gedung menurut pasal 1 UU 28/2002  TTG BANGUNAN GEDUNG adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat dan kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatan, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.

bahwa sesuai penjelasan pasal 5 ayat (8) PeraturanPemerintah No. 36 tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, penyelenggaraan bangunan gedung negara diatur oleh Menteri Pekerjaan Umum, yang mana dalam hal ini adalah Menteri PU yang kemudian  mengeluarkan PERMEN PU NOMOR: 45/PRT/M/2007 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA, dan tentunya bisa dijadikan salah satu referensi, untuk para praktisi PBJ Lingkup Konstruksi khususnya terkait bangunan Gedung Negara.



langkah pertama yang perlu kita sama2 pahami adalah mengenal definisi dari bangunan gedung negara yang dimaksud pada PERMEN PU 45/PRT/M/2007, yang mana Bangunan Gedung Negara adalah bangunan gedung untuk keperluan dinas yang menjadi/akan menjadi kekayaan milik negara seperti: gedung kantor, gedung sekolah, gedung rumah sakit, gudang, dan rumah negara, dan diadakan dengan sumber pembiayaan yang berasal dari dana APBN, dan/atau perolehan lainnya yang sah.

kalimat yang perlu digaris bawahi adalah sumber pembiayaan yang berasal dari dana APBN, dan/atau perolehan lainnya yang sah.

Yang pertama kali muncul dibenak saya adalah apakah sumber dana APBD tidak boleh menggunakan Permen PU ini, ternyata jawaban dari pertanyaan saya ada pada penjelasan berikutnya, yaitu:

a.     Pasal 3 ayat 3 yang berbunyi Setiap orang atau Badan Hukum termasuk instansi Pemerintah, dalam penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung negara wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) pasal ini. (akan diuraikan dibawah )

b.       Pasal 4 Pengaturan Penyelenggaraan:
1.       Setiap pembangunan Bangunan Gedung Negara yang dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga harus mendapat bantuan teknis berupa tenaga Pengelola Teknis dari Departemen Pekerjaan Umum dalam rangka pembinaan teknis.

2.       Untuk pelaksanaan pembangunan Bangunan Gedung Milik Daerah yang biayanya bersumber dari APBD diatur dengan Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota yang didasarkan pada ketentuan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.

3.      Untuk pelaksanaan pembangunan Bangunan Gedung Milik BUMN/BUMD mengikuti ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Menteri ini

4.       Dalam hal Daerah belum mempunyai Keputusan Gubernur/ Bupati/Walikota pada ayat (2) pasal ini diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 5.

5.   Daerah yang telah mempunyai Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini sebelum Peraturan Menteri ini ditetapkan, harus menyesuaikan dengan ketentuanketentuan persyaratan pembangunan bangunan gedung negara sebagaimana dimaksud pada Pasal 3.

Beberapa referensi perihal spesifikasi teknis Barang/Jasa yang diatur oleh PermenPU 45/2007, diuraikan pada pasal 3 permen PU 45/2007, yang kemudian diuraikan lebih detail pada BAB II Permen PU tsb.

Tahapan pertama yang dilakukan yaitu harus melakukan identifikasi terhadap klasifikasi bangunan gedung negara dan Bangunan Rumah Negara:

A.    KLASIFIKASI BANGUNAN GEDUNG NEGARA BERDASARKAN TINGKAT KOMPLEKSITAS MELIPUTI:

1.     BANGUNAN SEDERHANA Klasifikasi bangunan sederhana adalah bangunan gedung negara dengan karakter sederhana serta memiliki kompleksitas dan teknologi sederhana. Masa penjamina kegagalan bangunannya adalah selama 10 (sepuluh) tahun.


2.     BANGUNAN TIDAK SEDERHANA
Klasifikasi bangunan tidak sederhana adalah bangunan gedung negara dengan karakter tidak sederhana serta memiliki kompleksitas dan/atau teknologi tidak sederhana. Masa penjaminan kegagalan bangunannya adalah selama paling singkat 10 (sepuluh) tahun. Yang termasuk klasifikasi Bangunan Tidak Sederhana


3.     BANGUNAN KHUSUS
Klasifikasi bangunan khusus adalah bangunan gedung negara yang memiliki penggunaan dan persyaratan khusus, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya memerlukan penyelesaian/teknologi khusus. Masa penjaminan kegagalan bangunannya paling singkat 10 (sepuluh) tahun. Yang termasuk klasifikasi Bangunan Khusus


Dengan standar luasan untuk klasifikasi Bangunan Gedung Negara, berdasarkan Tabel C Permen PU 45/2007 adalah



B. TIPE BANGUNAN RUMAH NEGARA
Untuk bangunan rumah negara, disamping klasifikasinya berdasarkan klasifikasi bangunan gedung negara tersebut di atas, juga digolongkan berdasarkan tipe yang didasarkan pada tingkat jabatan penghuninya dan golongan kepangkatan.



Dengan standar luasan untuk Tipe Bangunan Rumah Negara, berdasarkan Tabel D Permen PU 45/2007 adalah



Secara garis besar, persyaratan teknis bangunan gedung negara  dan rumah negara adalah sebagai berikut:

  1. PERSYARATAN TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN
  2. PERSYARATAN BAHAN BANGUNAN
  3. PERSYARATAN STRUKTUR BANGUNAN
  4. PERSYARATAN UTILITAS BANGUNAN
  5. PERSYARATAN SARANA PENYELAMATAN

Tahapan tersebut akan dijabarkan menjadi Spesifikasi Teknis Bangunan Gedung Pemerintah/Lembaga Tinggi/Tertinggi Negara dan Spesifikasi Teknis Bangunan Rumah Negara, yang diuraikan pada Tabel A1 dan Tabel A2 yang diatur oleh PERMEN PU NOMOR: 45/PRT/M/2007 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA.

1. SPESIFIKASI TEKNIS BANGUNAN GEDUNG NEGARA (KLASIFIKASI SEDERHANA/TIDAKSEDERHANA/KHUSUS)


2. SPESIFIKASI TEKNIS TIPE RUMAH NEGARA (KHUSUS & TIPE A/TIPE B/TIPE C,D,&E)
 
Demikian diskusi singkat mengenai SPESIFIKASI TEKNIS terkait BANGUNAN GEDUNG NEGARA yang diatur oleh PERMEN PU NOMOR: 45/PRT/M/2007 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA, semoga bermanfaat.